【your present】

Pada dasarnya seorang Shaw itu nakal. Sudah tahu es krim strawberry cheesecake berukuran cup besar adalah favorit kekasihnya, tapi ia masih saja memakan bahkan menghabiskan separuh es krim tersebut membuat sang gadis tidak berbicara dengannya sama sekali. Bahkan hari ini gadis itu mengabaikan panggilannya, entah karena ponselnya dimatikan atau nomornya diblokir. Maka dari itu, ia memutuskan untuk membeli sebagai pengganti, juga menambah makanan ringan lainnya sebagai permohonan maaf.

Dia memang nakal dan senang mengerjai kekasihnya, tapi gelisah ketika panggilannya diabaikan hampir setengah hari. Bukannya apa, gadis pujaan hatinya itu cantik (meski terlihat seperti orang culun, wajahnya tetap memikat. Apalagi mahkotanya hitam kelamnya yang menawan). Sudah berapa kali Shaw memergoki lelaki mendekat dengan kekasihnya dan sekali lagi, karena seperti orang culun, gadis itu sama sekali tidak begitu peduli dengan mereka—bahkan terlihat canggung. Beruntung sang pacar tidak begitu meladeni para lelaki gatal yang selalu berusaha untuk mendekat, tapi hal itu juga membuat Shaw was-was karena gadisnya gampang dibodohi.

Memang, gadis itu tidak meladeni lelaki yang mendekat tapi cukup diberi iming-iming seperti makanan kesukaannya saja ia akan luluh. Kadang Shaw juga tak habis pikir, sebentar lagi usia gadisnya akan memijak kepala dua tetapi akalnya tidak juga berkembang. Ya, meski begitu dia tetap sayang, sih.

Langkah kaki menyusuri kota Loveland bersama orang-orang dengan kesibukan masing-masing. Teringat kembali masa dimana ketika mereka bertemu untuk pertama kalinya, membuat lelaki pemilik iris merkuri itu mendengkus. Ia tak percaya kalau pertemuan antara seorang gadis yang sudah berdiri di pinggir atap gedung, mengeluarkan evol sampai titik penghabisannya akan terus berlanjut hingga hari ini. Kalau dipikir-pikir ia juga tidak mengerti kenapa bisa jatuh cinta pada seorang gadis (yang bisa dibilang) kurang akal, pemalu, kasar, hobi tidur di lantai, terlalu bekerja keras dengan apa yang telah dilakukan bahkan sampai menggunakan kekuatannya untuk hal yang tak berguna.

Ia sama sekali tidak mengerti, tetapi ada kala ketika sang gadis memeluknya dengan tangan gemetaran, menangis tersedu-sedu, bahkan sampai tak bisa bersuara membuat hatinya terketuk. Ia seperti mendapat amaran bahwa gadis yang berada di dekapannya harus dilindungi, apa pun yang terjadi.

Lonceng berbunyi ketika pintu minimarket dibuka. Aura dingin menyambut berkat pendingin ruangan yang sepertinya tidak pernah mati, mengingat toko ini selalu buka selama dua puluh empat jam. Tujuan pertama Shaw adalah area makanan ringan sebelum ke tempat es krim. Ia mengambil keranjang terlebih dulu, setelahnya pergi mencari makanan ringan sebagai permintaan maaf dan tentu es krimnya juga.

Satu persatu makanan dilihat baik-baik dari makanan apakah yang berada di rak, rasanya, kemasannya (ya, gadis itu menyukai sesuatu yang unik—apalagi makanan). Dua batang cokelat matcha menjadi pilihan, memasukkannya ke dalam keranjang lalu memilih kembali hingga pandangannya kembali beralih pada isi keranjang. Cokelat matcha, picky matcha dan stoberi, satu bungkus permen cokelat, dua kotak susu plain berada disana. Semuanya manis, apalagi ia akan membeli es krim. Tidak tahu deh apa sang gadis akan marah karena ia diberi makanan manis semua, paling tidak ia dapat menebus kesalahannya. Ah, sebelum beranjak dari rak makanan ringan ia mundur sejenak dan memasukkan dua bungkus snack kentang yang sepertinya baru saja dijual karena baru hari ini ia melihatnya.

Setelah mengambil es krim dari freezer minimarket—yang beruntungnya masih dijual karena seingatnya, es krim ini terbatas—Shaw pun membawa keranjang belanjaannya ke kasir untuk dibayar. Sembari menunggu, total pembayaran disebutkan kedua matanya melihat ke sekitar kasir. Pandangannya terhenti pada cokelat yang diberi pita merah muda, membuat dahinya mengernyit.

Memangnya hari ini hari Valentine ya?

"Cokelatnya sekalian, kak. Lagi promo," ucap sang kasir di sela memindai barcode barang ke komputer. Shaw memegang cokelat tersebut, membolak-balikkan sang manisan lalu menunjukkannya pada kasir.

"Kenapa diberi pita?"

"Ciri khas cokelatnya, kak. Cokelat itu baru saja kami restock karena banyak yang membeli," jelas sang kasir. "Katanya cokelat itu bisa membuat hubungan pasangan langgeng."

Shaw menaruh cokelat kembali ke etalase lalu memasukkan tangannya ke saku celana. "Memangnya sekarang hari Valentine?"

"Iya kak."

Sepersekian detik setelah lelaki beriris merkuri tersebut mendengarkan jawaban sang kasir membuatnya bergeming. Lantas merogoh ponsel dari saku jaket dan memerhatikan tanggal yang tertera, menunjukkan tulisan 02/14 di sudut layar. Ia menghela napas kasar, memasukkan benda elektroniknya ke dalam saku jaket dan mengambil cokelat pita merah muda yang baru saja dikembalikannya ke etalase.

Bisa-bisanya dia tidak tahu dan tidak sadar bahwa hari ini hari kasih sayang.

Biasanya pihak perempuan yang akan memberi cokelat pada lelaki, tapi persetanlah. Satu diantara alasan kenapa sang pacar begitu marah pada Shaw pasti karena ia tidak ingat bahwa hari ini hari Valentine. Ia hanya menduga, tapi semoga saja salah. Perkara pacarnya marah karena es krim, bukan karena hari Valentine.

Setelah membayar belanjaan, Shaw meninting kantong dan bergegas meninggalkan supermarket. Mau tak mau ia menggunakan kekuatannya dengan terbang dan melompat ke setiap gedung agar sampai lebih cepat juga takut es keim serta cokelatnya meleleh. Ia berharap sang pacar mau membukakan pintu apartemen untuknya, mengingat makanan yang dibawanya.

🍨🍨🍨🍨

"Kakak merusak dietku," gerutu seorang gadis dengan ponsel yang menempel di telinga. Di hadapannya, kue krim keju berbentuk persegi panjang, es krim strawberry cheesecake berukuran cup sedang, dua botol besar air putih mineral dan segelas kecil brown sugar boba tertata di atas meja. Ia menutup separuh wajahnya dan menggeleng. "Bagaimana bisa aku menghabiskan semua ini?"

"Hei hei, jangan ngomong kayak orang jomblo." Elena—sang kakak sebagai pihak penerima telpon bersuara. "Kau rayakan saja ulang tahunmu dengan pacarmu itu. Aku dan Daniel benar-benar tidak bisa datang ... besok atau lusa deh ya."

Melanie tersentak, menggaruk pipi dengan rona merah disana. "A-Aku mana punya pacar ... sudah kubilang aku tidak bisa menghabiskan ini sendiri."

Terdengar helaan napas kesal di seberang sana. "Kalau kau bertingkah seolah-olah cowok ganteng itu bukan pacarmu, nanti dia menjauh benaran baru tahu rasa kau," omelnya. "Dia pasti bakalan datang buat merayakan ulang tahunmu 'kan?"

Gadis bermahkota hitam itu meneguk ludah. Ia tidak ingat pernah memberitahu Shaw mengenai hari jadinya, juga lelaki itu tak pernah bertanya—sepertinya. Lagipula, bertambah umur bukan sesuatu yang spesial baginya. Tidak perlu dirayakan, apalagi dia selalu lupa dengan tanggal lahirnya. Hanya karena tanggal lahirnya sama dengan hari kasih sayang di bulan Februari membuat orang-orang mengingatnya dengan mudah, padahal dia saja selalu melupakannya.

Keheningan tercipta membuat Elena bersuara kembali. "Kau masih disana 'kan? Jangan bilang pacarmu tidak tahu ulang tahunmu?"

"Sudah kubilang dia bukan pacarku!" Melanie meralat lalu menghela napas kasar. "Dia tidak pernah menyatakan perasaannya padaku, bertindak seenaknya, datang tanpa pernah memberitahu, apalagi hari ini dia menghabiskan es krimku tanpa izin!"

"Jeh, itu artinya dia suka denganmu. Apalagi yang harus kau perjelas darinya?"

Sekali lagi Melanie menutup separuh wajahnya, mulai merasa pusing dengan perkataan sang kakak. Ia tidak tahu bagaimana caranya mengetahui seseorang memiliki "rasa" padanya sebab hari-harinya hanya dihabiskan dengan bermain otome game, dimana para karakternya mengucap pernyataan suka / cinta secara tersirat. Jarang sekali mereka tidak mengucapkan kata-kata tersebut.

Di saat itu juga, bel apartemennya berbunyi. Kepalanya menoleh ke arah pintu, membuatnya beranjak dan berjalan ke sana guna mengintip siapa yang bertamu.

"Ada apa?" Elena bertanya karena menyadari keheningan dan suara berisik di sana.

"Ada yang datang, tapi aku harus melihat dulu sia—" Omongannya terhenti ketika mengetahui siapa yang berdiri di depan pintunya. Terdiam dengan kedua mata mengerjap, membuat sang kakak mulai resah karena adiknya terlalu banyak bungkam saat mereka melakukan hubungan via suara.

"Ann, kau masih disana?"

"Kak, aku matikan dulu. Ada yang bertamu."

"Siapa?" tanyanya, lalu tercipta "oh" panjang disana. "Oh~ Shaw?"

Tepat saat Elena menebak, telepon diputuskan sepihak oleh Melanie. Di sana, perempatan besar muncul di dahi sang kakak karena dia tak sempat mendapat jawaban dari adiknya.

Iris karamel Melanie menangkap seorang lelaki tinggi dengan mahkota abu-abu berdiri di hadapan. Ia memangku kedua tangan, melihat lelaki tersebut dengan tatapan kesal. Perihal es krim yang telah dihabiskan oleh lelaki itu masih belum bisa dimaafkan, apalagi itu stok terakhir yang ia dapatkan.

"Apa?"

"Oh, masih marah ceritanya?" Shaw bertanya, membuat Melanie mendecih.

"Menurutmu?"

Lelaki itu menghela napas. "Sayang sekali, padahal aku sudah membawa banyak makanan," ucapnya sembari mengangkat kantong putih yang dibawanya. Fokus Melanie teralih pada kantong di tangan Shaw lalu mendengkus dan memijit dahinya.

"Enggak kak Lena, enggak kau. Kenapa semua orang selalu membawakan makanan untukku sih? Dietku bisa rusak tahu," keluhnya. "Apalagi kau menghabiskan es krimku, padahal itu sudah aku hitung untuk aku makan hari ini!"

"Hah? Ribet amat mau dihitung-hitung." Shaw berucap dengan kernyitan di dahi. "Udah aku beliin yang baru dan semua yang di kantong ini untukmu."

"Manis semua?"

"Yup."

Helaan napas kasar tercipta, Melanie menatap lawan bicaranya dengan tatapan kesal. "Dengar, aku sudah dikirimkan kue dari saudaraku. Jadi, semua itu kau simpan untukmu saja oke?"

"Gak mau," tolaknya. "Aku sudah jauh-jauh membelikannya untukmu dan aku memaksamu untuk menerimanya."

Sang gadis mulai risau, membuatnya menggeleng pelan. "Terserah deh."

Terpancar aura bahagia ketika mendapat jawaban dari Melanie. "Jadi gimana? Aku boleh masuk gak?"

Melanie masuk terlebih dulu tanpa membalas perkataan Shaw, membuat sang lelaki mengikutinya dari belakang dan menutup pintu. Hanya saja ada satu perkataan yang agak mengganjal di pikirannya. Saudara Melanie mengirimkannya kue? Untuk apa? Jika memang karena hari ini hari Valentine, kenapa tidak mereka rayakan bersama?

"Kau tahu 'kan sekarang hari Valentine? Aku tidak bisa membuatkan cokelat untukmu karena tugasku sedang menumpuk." Sang gadis berucap sembari berjalan menuju sofa. "Tapi karena saudaraku mengirimkan aku makanan manis juga jadi kau harus memakannya ... yah anggap saja sebagai hadiah Valentine."

Shaw mendengarkan perkataan sang gadis, tetapi tidak merespon. Ia meletakkan kantong putih belanjaannya di atas meja dan pandangannya terfokus pada makanan dan minuman yang berada di sana. Kepalanya menoleh pada Melanie, membuat sang gadis mengendikkan bahu.

"Yah, itu semua dari kak Lena & Didi(*)."

Lelaki itu mengernyit ketika melihat wajah sang gadis. Ia merasa ada yang aneh karena makanan yang diberikan oleh saudaranya lumayan banyak, terlebih semuanya makanan manis. Apa hanya karena hari ini hari Valentine?

"Apa hari ini hari spesial untukmu?"

Melanie tersentak, mengusap tengkuk belakangnya karena merasa canggung. "Kalau dibilang hari spesial juga ... menurutku enggak sih."

"Kapan hari ulang tahunmu?"

Sekali lagi Melanie tersentak, membuat kecurigaan tergambar pada Shaw. Ia menghempaskan bokongnya ke sofa dan duduk di sisi sang gadis, membuat Melanie memundurkan tubuhnya. Wajah mengintimidasi Shaw membuatnya merinding, sekaligus sinyal baginya untuk menghindar bagaimanapun caranya.

"K-Kenapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu?"

"Hanya penasaran," jawabnya lalu menggenggam pergelangan tangan Melanie. "Kenapa kau harus menjauh? Padahal aku hanya bertanya."

Shaw semakin mempersempit jarak membuat Melanie hampir kesulitan bernapas. Tatapan dari iris merkuri sang lelaki membuatnya mati rasa. Memang dia tidak pernah mengungkit tentang ulang tahunnya, tapi dia juga tidak tahu kalau akan jadi seperti ini. Lain halnya dengan Shaw yang menduga bahwa semua yang diberikan saudaranya adalah sebagai hadiah hari jadi sang gadis. Terlebih ketika disinggung, gadis itu memilih untuk menghindar.

"I-Iya aku mengerti!" Melanie menyentuh tubuh Shaw, menahan sang lelaki agar tidak semakin dekat dengannya. "Ulang tahunku ... hari ini. Oke?"

Benar apa dugaannya. Shaw melepas genggamannya dan menghela napas kasar. "Pacar macam apa aku, tidak tahu ulang tahun pacarnya sendiri?"

"Ah, benar. Pacar macam apa kau," Melanie membalas, tak lama kemudian menoleh pada sang lelaki. "Loh, kau menganggapku apa?"

"Pacar. Kekasih. Girlfriend."

"Hah?"

"Jadi, selama ini anggapan bahwa kita berpacaran hanya sepihak?"

Suara Shaw memberat, membuat Melanie menggeleng kuat sembari mengibaskan kedua tangan. Ia tidak tahu kalau selama ini mereka sudah dianggap sebagai dua orang yang menjalin kasih karena Shaw tidak pernah mengatakan apa pun. Bagaimana dia tidak bingung coba? Dipikir, hubungan mereka dari awal bertemu hanya dekat-dekatan begitu saja.

"Maksudku ... kau, menganggapku pacarmu?"

"Ya tentu saja," jawabnya. "Memangnya kau mau dianggap apa? Babu?"

"Shaw, aku serius!" Melanie berseru seraya memukul bahu sang lelaki, membuat kekehan tercipta. "Kupikir ... kau hanya bermain-main," Ia melanjutkan. "Tapi tidak mungkin sih, kalau kau sampai seperti ini."

"Tuh tahu," Shaw berucap. "Apa perlu aku perjelas lagi hubungan kita?"

"Dengan apa?"

Tanpa aba-aba, Shaw mengecup bibir sang gadis. Melanie yang sempat tidak sadar dengan pergerakan lelaki itu terdiam sejenak lalu menutup bibirnya dengan punggung tangan dan mengangkat bantal sofa, hendak memukulkannya pada sang lelaki.

Shaw tertawa, melindungi dirinya agar tidak terkena pukulan bantal dari sang gadis. Ketika Melanie hendak memukul, ia terhenti karena teringat makanan dari saudaranya—terlebih pada es krim yang diberikan.

"Ah, aku lupa!" Melanie menaruh bantal sofa, menarik kantong putih pemberian Shaw mendekat padanya dan melihat isi di dalamnya. "Disini ada es krim 'kan?"

Lelaki itu mengangguk, membuat Melanie meninting kantong tersebut menuju ke dapur. Ia akan memasukkan semua makanan ke kulkas terlebih dulu. Untuk makanan dari saudaranya akan dia habiskan segera.

Di sela menunggu Melanie memasukkan makanan ke dalam kulkas, fokus Shaw terpaku pada es krim strawberry cheesecake berukuran sedang yang berkeringat lumayan banyak sampai membasahi bagian bawahnya. Ketika ia membuka tutup cup es krim, didapati makanan tersebut hampir mencair karena tidak dimasukkan ke dalam kulkas.

"Ann, es krim dari saudaramu mencair nih."

"Ah ya, aku tahu." Sang gadis berseru dari dapur. Setelah memasukkan makanan ke kulkas, ia berjalan menghampiri Shaw dan duduk di sisinya. "Sudah tidak bisa diselamatkan, aku makan saja sekarang."

"Emangnya enak es krim yang sudah mencair?"

"Selama itu rasa favoritku, aku tak masalah."

Ia memegang cup es krim, menyendokkan isinya dan memasukkannya ke dalam mulut. Rasa dinginnya mulai hilang, tetapi perpaduan rasa antara stroberi dan cheesecake berpadu di dalam mulut. Sendok kedua, ia menawarkan pada Shaw—yang saat ini memeluknya dari samping dan meletakkan dagunya di bahu sang gadis—tetapi lelaki itu menolak, membuatnya melahap es krim kembali.

"Aku ... mau minta maaf karena selama ini tidak menganggapmu sebagai pacar." Melanie bersuara di sela-sela dirinya memakan es krim, tetapi tidak sedikitpun pandangannya teralih pada Shaw. Ia malu. "Apalagi kau tidak pernah mengatakan apa pun padaku, jadi ya ... gitu."

Shaw mendengkus. "Gadis di hadapanku ini bodoh dan selalu mementingkan game-nya, aku maklum karena dia tidak tahu bagaimana rasanya memiliki pacar di dunia nyata."

Mendengar perkataan sang lelaki membuat Melanie melotot. "Tentu saja! Mereka lebih penting daripada dirimu."

"Cih, kau lebih mementingkan mereka?"

"Tentu saja!"

Lucu ketika ia sadar bahwa dirinya cemburu dengan makhluk yang tidak nyata dan tidak bisa bersaing dengannya, tetapi atensi penuh sang pacar pada game-nya benar-benar membuatnya kesal. Shaw mengeratkan pelukannya pada Melanie, membuat gadis itu tersentak dan sedikit menumpahkan es krim yang telah mencair ke tangan Shaw.

"H-Hei, tanganmu kena es krim loh."

"Aku tidak peduli," jawabnya. "Cowok-cowok di game-mu tidak bisa seperti ini 'kan? Harusnya kau bangga karena memilikiku."

"Iya, tapi kau bisa tidak melonggarkan pelukanmu? Aku susah bergerak ...."

"Gak mau."

Melanie menghela napas kasar, melihat tingkah lelakinya seperti anak kecil membuatnya resah. Ia juga kesulitan memakan es krimnya karena terlalu erat dipeluk.

"Aku mau menghabiskan es krimku."

"Ya habiskan saja, anggap aku tidak ada."

"Bagaimana—" Omongannya terhenti, ia memutuskan untuk mengalah dan memakan es krimnya kembali. Hanya saja karena kurang fokus—akibat Shaw memeluknya dan tidak ada jarak lagi di antara mereka, terlebih napas sang lelaki yang menggelitik di lengannya—membuat cup es krim dari tangannya terjatuh dan isinya tumpah mengenai leher dan bajunya. Sudah dikatakan tadi, karena Shaw memeluknya begitu erat membuatnya susah bergerak. "Es krimnya tumpah!"

"Hah?" Shaw mengangkat kepalanya dan melepaskan pelukannya. "Tumpah di—" Ia terdiam ketika melihat warna putih es krim mengalir di leher Melanie, membuatnya terkesiap. Gadis itu menghela napas dan beranjak dari sofa.

"Aku mau ganti baju du—" Ketika hendak pergi, Shaw menarik tangan Melanie dan membaringkan sang gadis di sofa. Satu tangannya berada di samping kepala gadisnya, diiringi senyuman tipis di wajah.

"Biar aku yang bersihkan."

"Bagaimana cara—kh ...."

Melanie mendesah pelan ketika sesuatu yang hangat menyapa lehernya. Shaw tak berbicara apa pun dan menjilat lehernya, membuat sang gadis tersentak—hendak bangkit dari sofa tetapi Shaw menahannya dengan mengunci kedua tangannya di atas kepalanya.

"Kau sudah besar 'kan, aku tidak perlu menunggu untuk melakukannya denganmu," ucapnya sembari mengusap bibirnya karena es krim yang menempel lalu menjilatnya. "Happy birthday, dear. I will be your present."

°°

(*) Didi (弟弟): Adik laki-laki

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top